Berikut ini adalah pemenang lomba Pajak yang diadakan Politeknik UBAYA:

  • Juara 1 (Rp. 1.5 jt), Yuni Auliyatul Mufliha, judul artikel “Sudut pandang mata terhadap Pajak: dibenci namun dibutuhkan”
  • Juara 2: (Rp. 1 jt) Maria Marselina Shinta, judul artikel “The Secret of Tax”
  • Juara 3: (rp. 750 rb) Suci, judul artikel “Pajak”
Para pemenang akan dihubungi via telpon dan email. Selamat ya.
Berikut ini artikel yang berhasil memenangkan lomba (artikel untuk Juara 1 dan Juara 3 akan dipost besok):
Juara 2: “The Secret of Tax” 
Maria Marselina Shinta-SMA Santo Carolus Surabaya
 “The Secret of Tax” 

Rahasia tentang pajak? Memangnya pajak memiliki rahasia? Tidak bisa disangkal ada saja yang dengan membaca judul ini saja bertanya-tanya seperti itu.

Pertama-tama, mari kita menguji diri kita sendiri. Apa yang terbayang di benak kita mendengar kata pajak? Semua orang tentu memiliki bayangan yang berbeda. Ada yang membayangkan uang, lebah berwarna kuning, urusan orangtua, atau bahkan muncul wajah Gayus Tambunan?

Kita semua tentu pernah mendengar istilah 5W + 1H; what, when, where, who, why, dan how. Enam pertanyaan dasar dalam sebuah penulisan. Karena itu, untuk menelusuri rahasia di balik kata pajak, kita akan mencoba melihat pajak dengan mata “karya tulis” melalui prinsip 5W + 1H.

WHAT. Apa itu pajak? Setiap orang tentu memiliki definisi yang berbeda-beda tentang pajak. Secara sederhana, pajak adalah prosentase sejumlah uang yang diambil dan ditentukan besarnya (rate) oleh pemerintah untuk membiayai kelangsungan negara. Ada enam jenis pajak menurut Direktorat Jenderal Pajak, yakni:

  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
  • Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
  • Pajak Penghasilan (PPh),
  • Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM),
  • Bea Materai (BM),
  • Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Di Indonesia, pajak secara umum dibagi menjadi dua, yaitu pusat dan daerah. Pajak pusat meliputi PPN, PPh, dan BM. Pajak daerah sendiri terbagi dua; provinsi dan kota/kabupaten. Pajak provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor, bahan bakar, air permukaan, dan rokok, sementara pajak kota/kabupaten meliputi pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, mineral bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung walet, PBB, dan BPHTB. Tingkatan (rate) prosentase pajak sendiri tidak sama. Ada yang setiap orang sama, ada juga yang berbeda. PBB dan PPh besarnya ditentukan sesuai aset/harta yang kita miliki. Pajak lain prosentase setiap orang sama, tidak peduli siapapun kita, berapapun penghasilan kita, dan sebesar apa rumah kita. Contohnya saja dalam sebuah restoran cepat saji yang memberlakukan PPN sebesar 10% dengan harga makanan Rp 20.000,00. Baik yang membeli seorang direktur perusahaan A dan karyawan perusahaan A tetaplah mereka sama-sama harus membayar Rp 22.000,00. Lain dengan PPh, Direktur perusahaan A tentu PPh-nya lebih tinggi dari karyawan perusahaan A karena gaji direktur jelas lebih tinggi dari karyawannya.
WHO. Siapa yang membayar pajak? Pasti ada saja – terutama kaum remaja – yang menjawab bahwa itu bukan urusannya melainkan urusan orangtuanya. Kalau begitu pola pemahaman seperti itu perlu diluruskan. Sebagian besar pajak memang dibayar oleh orangtua karena memang orang dewasa yang memiliki aset yang harus dibayarkan pajaknya. Tetapi tidak juga. Negara berbaik hati untuk juga melibatkan anak muda dalam pajak. Sekali lagi kita mengambil contoh restoran cepat saji. Katakan saja seorang anak SD membeli produk seharga Rp 5.000,00. Meskipun total pembelian kita hanya lima ribu rupiah, yang harus kita bayarkan adalah lima ribu lima ratus rupiah. Meskipun tidak terasa karena mungkin sebagian orang menganggap lima ratus rupiah tidak ada artinya, tetapi lima ratus rupiah yang kita bayar itulah yang disebut pajak, atau dikenal sebagai salah satu jenis pajak yang disebut Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Masih berpikir pajak hanya milik orangtua?

WHEN.  Kapan kita membayar pajak? Untuk mudahnya, mari kita kembali lagi pada analogi makanan. Kita pasti pernah makan di sebuah restoran yang memberikan pajak terhadap produknya. Pajak lain juga demikian. Oleh karena itu apabila setiap bulannya kita tidak membayar pajak, berarti kita pencuri yang sudah ‘makan’ fasilitas negara tanpa membayar, bukan? Apabila kita bukan pencuri, berarti sudah selayaknya kita membayar pajak sebelum tenggat waktunya. Karena setiap pajak memiliki tenggat waktu pembayarannya sendiri, maka kita harus membayar pajak mengikuti waktu yang ditentukan.

WHERE. Di mana kita bisa membayarkan pajak? Sama seperti kapan kita membayar. Sebenarnya pajak adalah kapanpun dan di manapun, sesuai dengan ketentuan tempat pembayaran. Pajak restoran tentu dibayar di restoran. Kalau begitu PBB, PPN, PBM, dan lain-lain di manakah membayarnya? Tempat pembayaran pajak adalah di kantor pos, giro, serta bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak.

WHY. Mengapa kita harus membayar pajak? Seperti pada paragraf yang membicarakan “APA” di atas, pajak digunakan untuk membiayai kelangsungan negara. Ada banyak sekali keperluan negara, seperti belanja pegawai, pembangunan, subsidi, dan lain-lain. Semenjak kita lahir sampai detik ini, kita hidup di negara dengan fasilitas negara. Seandainya kita tidak membayar pajak, lalu uang siapa untuk membiayai fasilitas negara yang kita nikmati setiap harinya? Banyak orang yang menuntut pembangunan ini dan itu. Sekarang uang siapa yang mau digunakan untuk pembangunan jika sebagian besar masyarakat bahkan tidak peduli untuk membayar pajak.

Pajak adalah kewajiban. Tetapi lebih lagi, pajak adalah kesadaran akan kewajiban. Sebelum menuntut pembangunan yang lebih baik, tuntutlah diri sendiri untuk taat membayar pajak. Tetapi tidak hanya itu alasan mengapa kita harus membayar pajak. Kita sendiri yang sering mengeluhkan distribusi pendapatan yang tidak merata, terutama kalangan menengah ke atas yang semakin lama semakin kaya. Pajak menjawab keluhan itu. Beberapa jenis pajak ditentukan tingkat bunganya berdasarkan kemampuan. Seperti PPh misalnya, semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula pajaknya. Terkadang ada yang menganggap pajak justru membuat kalangan menengah dan menengah ke bawah semakin ‘kehabisan uangnya’ untuk membayar pajak. Padahal sebenarnya, tujuan pajak adalah pemerataan pendapatan. Bayangkan kalau tidak ada pajak, kesenjangan pendapatan justru akan semakin tinggi.

HOW. Bagaimana penggunaan pajak yang kita bayarkan? Inilah masalah yang akhir-akhir ini marak dibicarakan. Alasan mengapa sampai wajah Gayus Tambunan yang terbayang ketika mendengar kata pajak adalah karena pertanyaan “HOW” ini. Masyarakat – yang membayar pajak – merasa, dirinya sudah membayar tetapi kenyataannya pajak tidak digunakan dengan bertanggungjawab.

Baiklah, mungkin kata tidak bertanggungjawab terlalu kasar. Mari lebih baik kita katakan saja, penggunaan pajak sudah cukup bertanggung jawab. Kita bisa menikmati jalan raya, subsidi BBM sehingga BBM kita lebih murah dibanding negara lain, rumah sakit, guru yang mengajar di sekolah negeri, dan tentunya masih banyak lagi penggunaan pajak yang kita nikmati. Masalahnya, apakah yang digunakan dengan bertanggungjawab sudah semuanya? Tidak perlu dipikir terlalu lama, jawabannya tidak. Buktinya? Lihat saja ternyata pajak yang seharusnya untuk membiayai kesejahteraan negara malahan digunakan untuk membiayai kesejahteraan pejabat. Karena itulah muncul pikiran, kalau pajak tidak digunakan untuk negara, lalu untuk apa kita membayar pajak? Untuk membelikan mobil bagi para koruptor? Kita saja membeli mobil masih mencicil, apa iya kita harus membayar pajak kalau toh akhirnya pajak yang kita bayarkan dikorupsi?

Sebenarnya hal ini kembali pada pemahaman pajak sebagai kesadaran akan kewajiban. Setiap orang harus memiliki kesadaran masing-masing. Masyarakat harus membayar pajak, dan para oknum pajak harus terbuka dalam menggunakan pajak yang dibayar oleh masyarakat dengan baik, bertanggungjawab, dan semaksimal mungkin. Kita tidak bisa menuntut koruptor untuk tidak korupsi karena semua berawal dari kesadaran.

Dengan mengetahui 5W + 1H berarti kita telah mengerti rahasia tentang pajak. Lalu apakah kita hanya diam saja sekarang? Apakah pengajar dan konsultan pajak adalah seorang ahli pajak? Periksa SPT kita masing-masing, terlebih periksa hati kita, apakah saya sudah membayar pajak? Kalau belum, segera ambil dompet kita dan jadilah seorang ahli pajak sejati dengan membayar pajak.